Rabu, 14 Maret 2012

Sejarah Filsafat Barat


PERIODISASI FILSAFAT BARAT
Oleh : Moh. Rifqi Mushan

Secara garis besarnya, sejarah filsafat Barat terbagi dalam empat periode, yaitu Periode Yunani Kuno, Periode Abad Pertengahan, Periode Zaman Modern dan Periode Zaman Neomodernism atau biasa dikenal dengan filsafat postmodernisme. Keempat periode tersebut akan diurai dalam beberapa bagian.
1.    Periode Filsafat Yunani Kuno ( Abad 6 SM – Abad 4 M)
Untuk lebih mempermudah pembahasannya, maka saya akan menguraikan periode ini ke dalam 3 (tiga) bagian:
A.    Periode Pra Socrates (Abad 6 SM – 4 SM)
Pada periode ini, filsafat diawali oleh Thales yang untungnya mampu dilacak masa hidupnya berdasarkan fakta bahwa ia pernah meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada tahun 585 SM. Dengan demikian filsafat lahir di awal abad ke-6 SM. Pada zaman ini filsafat memiliki corak khas, yaitu kosmosentris (segala sesuatu berpusat pada asal usul jagad raya).
Beberapa filsuf besar yang lahir pada masa ini antara lain:
-          Thales. Ia berpendapat bahwa “Air adalah substansi dasar yang membentuk segala hal lainnya”.
-         Anaximander.Ia mengatakan bahwa segala hal berasal dari satu substansi asali, namun substansi itu bukan air atau substansi lain manapun yang kita ketahui. Substasi itu tak terbatas, abadi dan tak mengenal usia, dan ia melingkupi seluruh dunia-dunia”.
-        Anaximenes. Menurutnya, substansi yang paling dasar adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang encer; jika dipadatkan, pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi, menjadi tanah, dan akhirnya menjadi batu.
-        Pythagoras. Corak pemikirannya “Adiduniawi”, yaitu menempatkan semua nilai ke dalam persatuan gaib dengan Tuhan dan mengutuk dunia yang kasat mata ini sebagai kepalsuan dan hayalan. Ia berpendapat bahwa “jiwa tak dapat mati, dan jiwa itu berubah menjadi jenis-jenis makhluk hidup lain; kemudin, bahwa apapun yang bereksistensi dilahirkan kembali menurut perputaran siklus tertentu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang benar-benar baru; dan bahwa segala sesuatu yang dilahirkan dengan disertai kehidupan di dalamnya harus dianggap berasal dari satu sumber”.
-         Xenophon. Ia meyakini bahwa segala sesuatu tercipta dari tanah dan air.
-     Heraklitus. Ia api sebagai substansi dasar dari segala sesuatu, seperti pijar yang muncul dari api, terlahir berkat kematian sesuatu yang lain. Ia juga berpendapat bahwa “yang fana itu baka, dan yang baka itu fana, yang satu hidup berkat kematian yang lain”.
-    Parmenides. Ia menganggap bahwa indera bersifat menipu, dan bahwa pelbagai benda inderawi hanyalah ilusi. Satu-satunya pengada yang sejati adalah “Yang Tunggal” yang tak terbatas dan tak terbagi-bagi. Yang Tunggal itu bukanlah kesatuan dari unsure-unsur yang berlawanan sebagaimana pandangan Heraklitus, karena memang tak ada unsure-unsur yang berlawanan itu.
-      Empedokles. Dialah yang menyatakan bahwa tanah, udara, api dan air adalah empat unsur (kendati istilah “unsur” belum dia gunakan). Masing-asing unsure itu abadi, tetapi unsure-unsur itu bisa saling berbaur dengan takaran yang berbeda-beda dan dengan demikian menghasilkan pelbagai ragam zat yang terus berubah sebagaimana kita temukan di dunia ini. Unsur-unsur itu dipadukan oleh Cinta dan Perselisihan.
-     Anaxagoras. Dialah orang pertama yang mengenalkan filsafat pada warga Athena,  yang di kemudian hari melahirkan Sokrates dan Plato. Dalam bidang kosmologi ia berpendapat bahwa segala sesuatu bisa dibagi-bagi secara tak terbatas, dan bahwa materi yang paling kecil pun tetap mengandung semua unsure yang ada. Pelbagai benda tampil sebagaimana adanya sesuai dengan unsure apa yang paling banyak dikandungnya.
-  Leukippus dan Demokritus. Mereka dikenal dengan pelopor atomisme. Ini dikarenakan pendapatnya yang menyatakan bahwa segala sesuatu tersusun dari atom-atom yang yang tak dapat dibagi-bagi secara fisik, namun bukan secara geometris; bahwa di antara atom-atom itu terdapat ruang kosong; bahwa atom-atom tak bisa dimusnahkan; bahwa atom-atom itu senantiasa telah, dan senantiasa akan bergerak; bahwa jumlah atom-atom tak terbatas, dan demikian pula jenisnya, yang berbeda-beda bentuk dan ukurannya.
-       Protagoras. Ia merupakan pemimin kaum sofis, yaitu mereka yang mata pencahariannya mengajari anak-anak muda dengan sejumlah hal yang diharapkan akan berguna dalam kehidupan sehari-hari.

B.     Periode Socrates (Abad 4 SM )
Pada masa ini, filsafat yang pada mulanya lahir dan berkembang di miletus, berhijrah ke Athena. Proses perpindahannya diawali oleh kemungkinan diundangnya Anaxagoras oleh Pericles, ke Athena. Ia kemudian menetap dan melewatkan sebagian hidupnya selama kurang-lebih tiga puluh tahun di Athena, kira-kira dari tahun 462 hingga 432 SM. Masuknya Anaxagoras ke Athena ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap kelanjutan dunia filsafat. Karena dari Athena inilah kemudian lahir tiga filsuf besar yang namanya sampai sekarang lebih dikenal daripada filsuf sebelumnya dan atau bahkan filsuf sesudahnya. Tiga filsuf besar tersebut adalah:
-      Socrates. Socrates sama sekali tidak menuliskan seuatu. Banyak pengetahuan kita tentang filsuf itu terutama merujuk pada seorang tokoh historis semu yang muncul dalam dialog-dialog Plato. Ia beserta muridnya (Plato), melakukan “kesalahan” dengan memperlakukan filsafat sebagai upaya pencarian rasional (penalaran). Diperkenalkannya analisis beserta argument-argumen yang meyakinkan sehingga membuat tradisi filsafat pada saat itu menjadi berantakan. Oleh karena itu, Ia beserta mudirnya dituding telah “mengacaukan” filsafat.
Pandangan Socrates lebih bercorak etis daripada ilmiah. Ini dapat kita simak dari perkataannya “Aku tak punya urusan dengan pemikiran-pemikiran tentang alam”. Oleh karena itu, pandangan Socrates yang ditulis oleh Plato berisi tentang upaya menetapkan definisi-definisi peristilahan etis. Charmides berisi upaya mendefinisikan kesederhanaan atau sikap tahu batas; Lysis membahas persahabatan; dan Laches mengulas keberanian.
-      Plato. Ciri utama tentang flsafat Plato adalah Teori Idea (bentuk) yang terus dikembangkannya selama hidupnya. Ia mempercayai bahwa segala sesuatu yang kita indera di seputar kita hanyalah kenampakan semata. Realitas yang sebenarnya adalah idea-idea atau bentuk-bentuk yang merupakan asal dari segala kenampakan itu.
Gagasan tentang dunia idea membawa kita pada etika Plato. Dengan bantuan panca indera, kita hanya merasakan kebaikan semu dari dunia sekitar kita. Hanya dengan bantuan penalaran, barulah kita benar-benar menyadari idea universal kebaikan yang lebih luas. Melihat kerangka itu, Plato tampak lebih mementingkan moralitas pencerahan spiritual ketimbang aturan-aturan perilaku yang bersifat khusus.
-   Aristoteles. Dialah filsuf pertama yang menulis seperti seorang profeso. Risalah-risalahnya sistematis, telaahnya dipilah-pilah menjadi sejumlah bagian. Argumennya yang paling kokoh untuk menyanggah teori idea-nya Plato adalah tentang “orang ketiga”; jika seorang manusia adalah manusia karena ia menyerupai manusia ideal, maka masih hrus ada manusia ideal lainnya lagi yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.
Ada istilah lain yang penting dalam filsafat Aristoteles dan dalam pemikiran parapengikut skolastiknya, yakni “esensi”. “Esensi” anda adalah “siapakah anda berdasarkan diri Anda yang paling hakiki”. Orang mungkin mengatakan bahwa ini adalah sifat-sifat yang, jika dihapuskan, Anda akan berubah menjadi bukan Anda lagi.

C.     Periode Pasca Socrates ( Abad 3 SM – Abad 4 M)

Sesudah Abad ke-3 SM, tidak muncul pemikiran yang benar-benar baru dalam filsafat Yunani hingga saatnya tampil kaum Neoplatonis di abad ke-3 M. namun sementara itu dunia Romawi sedang dipersiapkan bagi kejayaan Kristianitas. Pada masa ini, terdapat empat madzhab filsafat yang didirikan; Mazhab Sinis dan Mazhab Skeptis, Mazhab Stoa, Mazhab Epikurean.
-       Mazhab Sinis. Mazhab ini berawal dari sebutan bagi Diogenes, seorang pemuda dari Sinope, di Euxine yang merupakan murid dari Antisthenes ia disebut “sinis” (Cynic) yang berarti “anjing”, karena ia menolak semua konvensi – baik itu agama, adat istiadat, sandang, pangan, papan, atau sopan santun. Akan tetapi ia memiliki semangat yang menyala-nyala untuk mencapai “keutamaan”, yang dalam perbandingannya dengan keutamaan itu sebaliknya ia menyatakan bahwa barang-barang duniawi tak ada nilainya.ia berusaha mencapai keutamaan dan kebebasan moral dengan jalan melepaskan diri dari hasrat.
-     Mazhab Skeptis. Skeptisisme sebagai ajaran dari pelbagai mazhab dikemukakan pertama kali oleh Pyrrho. Tak ada banyak hal yang baru dalam doktrinnya, kecuali dilakukannya sistematisasi dan formalisasi tertentu atas pelbagai keragu-raguan sebelumnya. Skeptisisme sebagai aliran filsafat bukanlah sekeder keragu-raguan, melainkan sesuatu yang biasa disebut keraguan dogmatis. Ia memaksudkan dirinya sendiri sebagai penawar kecemasan. “Buat apa memusingkan diri tentang masa depan?. Masa depan sama sekali tak pasti. Engkau toh bisa menikmati masa kini; “Apa yang bakal terjadi masih belum pasti”.
-        Mazhab Epikuren. Mazhab ini didirikan oleh Epikurus. Filsafat Epikuren dibangun untuk menjaga ketentraman batin. Ia berpendapat bahwa kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang penuh berkah. Ia pun beranggapan bahwa “Kenikmatan social paling aman adalah persahabatan”. Ini diperjales dengan pernyataannya bahwa “persahabatan tak dapat dipisahkan dari kenikmatan, dan oleh sebab itu harus dikembangkan, karena tanpa hal tersebut kita tak dapat hidup dalam keamanan dan terjauhkan dari kecemasan, tak pula bisa merasakan kenikmatan”.
-   Mazhab Stoisme. Pendirinya adalah Zeno pada awal abad ke-3 SM. Doktrin utama yang dipegang teguh selamanya oleh mazhab ini berkaitan dengn determinisme kosmis dan kebebasan manusia. Zeno percaya bahwa tak ada sesuatu yang disebut kebetulan, dan bahwa jalannya alam sudah ditetapkan secara ketat oleh hukum-hukum alam. Pada mulanya yang ada hanyalah api; kemudian unsure-unsur lain – udara, air, tanah, secara berurutan – berangsur-angsur muncul.
Penerus-penerus Zeno selanjutnya adalah Cleanthes,Chrysippus (280-207 SM), Panaetius, Posidenius (ca 135 – ca 51 SM), Seneca (ca 3 SM – 65 M), Epictetus (± 60 M - ± 100 M), dan Marcus Aurelius (121-180 M). Petatah kemudian mulai menunjukkan kebuktiannya bahwa kehidupan ini bagaikan roda yang berputar. Pun dengan masa kejayaan filsafat. Ia perlahan-lahan mengalami masa kemerosotan, sehingga berujung pada masa kejatuhan yang ditandai dengan berakhirnya masa hidup dan pengaruh dari pemikiran Plotinus.
2.    Periode Abad Pertengahan (Abad ke- 6 – 15 M)
Periode ini dikatakan sebagai “Abad Kegelapan” bagi filsafat. Namun ini hanya berlaku khusus bagi Eropa Barat. Karena pada masa ini, Cina di bawah naungan Dinasti Tang sedang mengalami masa keemasannya dalam banyak bidang, terutama pada bidang sastra. Pun dengan Jepang dan Kekhalifahan.
Pada periode ini, sejarah filsafat ditandai dengan munculnya filsafat skolastik (abad ke-6) sampai dengan kebesaran nama Thomas Aquinas (1225 – 1274 M) yang terkenal dengan aliran Thomisme. Pada masa ini, filsafat mengalami masa kegelapan dikarenakan ia dianggap sebagai pelayan teologi, yaitu sebagai sarana untuk menetapkan kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh akal manusia. Thomas Aquinas berpendapat bahwa “kebenaran teologis yang diterima oleh kepercayaan melalui wahyu tidak dapat ditentang oleh suatu kebenaran filsafat yang dicapai dengan akal manusia, karena kedua kebenaran tersebut mempunyai sumber yang sama pada Tuhan. Filsafat bebas menyelidiki dengan metod-metode yang rasional, asalkan kesimpulannya tidak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran yang tetap dari teologi”.
Corak pemikiran pada masa ini adalah teosentris (segala sesuatu berpusat pada asal usul Tuhan). Pada periode ini terdiri dari para filsuf Kristen, filsuf Islam dan filsuf Yahudi. Salah satu filsuf pada periode Filsafat Abad Pertengahan yang terkenal yaitu Abu Ali Al-Hussain Ibn Abdallah Ibn Sina (Avicenna) dengan pokok ajarannya yaitu tentang dunia yang didasarkan pada emanasi dari neo-Platonisme yaitu Tuhan adalah realitas sentral yang melahirkan segala yang lain.
3.    Periode Modern
Pada periode ini, saya mengklasifikasikannya menjadi 2 bagian, yaitu masa transisi dan masa modern itu sendiri.
a.       Transisi (Abad ke- 15 – 16 M)
Sebelum memasuki zaman modern, filsafat mengalami masa transisi, di mana masa ini dikenal dengan masa Renaisans (kelahiran kembali) dan Aufklarung (masa Pencerahan). Meskipun renaisans bukanlah sebuah periode prestasi besar dalam filsafat, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang pasti sebagai permulaan penting bagi kebesaran abad ke-17. Periode ini ditandai dengan runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas sains.
Renaisans merupakan sebuah gerakan perlawanan atas cara pandang Abad Pertengahan. Ia bermula dari Italia dan hanya dilakukan oleh segelintir orang, di antaranya yang terkenal adalah Petrarch. Renaisans merupakan istilah yang berasal dari bahasa Prancis renaissance yang berarti kelahiran kembali (rebirth). Istilah ini mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet, kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan periode Abad Pertengahan.
Menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, ada beberapa faktor penting yang mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
-   Implikasi yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat. Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam bahasa latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Hal itu dilakukan setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah turas klasik Yunani.
-      Pasca penaklukan Konstantinopel oleh Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan sarjana ke Italia dan negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut bahu-membahu menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia, dengan membawa teks-teks dan manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
-    Pendirian berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya Akademi Florensia dan College de France di Paris.

Beberapa filsuf besar yang lahir di masa ini antara lain: Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo Galilei (1564-1642), dan Francis Bacon (1561-1626).
b.      Periode Modern (Abad ke-17 – 18 M)
Zaman modern ditandai dengan munculnya rasionalisme Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz (1646-1716). Descartes merupakan orang pertama di akhir abad pertengahan yang menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes juga memberikan uraian tentang bagaimana memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan. Hal ini dapat kita dijumpai dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
  1. Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
  2. Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
  3. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
  4. Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Corak khas pemikiran pada masa ini adalah antroposentris (segala sesuatu dipusatkan pada manusia). Pada periode ini terdiri dari aliran Rasionalisme dan Empirisme. Salah satu filsuf pada periode Filsafat Modern yang terkenal yaitu Rene Descrates dengan metodenya dinamakan keraguan metodologis yaitu keraguan bertujuan memperoleh kebenaran yang tercermin pada kata-kata “cogito ergo sum” yaitu saya berfikir maka saya ada. (BK)

4.    Periode Masa Kini (Abad ke- 19 M - Sekarang)
Pada masa ini, filsafat mulai mengalami perkembangan yang amat pesat. Ini ditandai dengan lahirnya beragam aliran yang berpengaruh besar dalam filsafat. Antara lain: Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme, Pragmatisme, Neo-Kantianisme, Neo-Tomisme, dan Fenomenologi.
Beragam aliran pemikiran di atas kemudian terkumpul dalam sebuah aliran filsafat besar, Posmodernisme. Meskipun sedemikian beragamnya, namun kiranya kita masih dapat mengidentifikasikannya dalam dua kelompok.

a.    Kelompok “Dekonstruktif”.
Kelompok ini bekerja dengan cara membongkar segala bentuk pemikiran yang dianggap oleh banyak orang, telah mapan. Dalam kelompok ini, dapat kita masukkan pemikiran-pemikiran Derrida, Lyotard, Foucault, dan mungkin Rorty. Kelompok inilah yang ditidung sebagai sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat reaksioner belaka atas perubahan-perubhan social yang kini sedang berlangsung. 

b.    Kelompok “Konstruktif”
Dalam kelompok ini, kita dapat memasukkan pemikiran Haidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary Hesse, dari tradisi Hermeneutika; lalu David R. Griffin, Frederic Ferre, D. Bohm, dari tradisi Studi Proses Whiteheadian; juga F. Capra, J. Lovelock, Gary Zukav, I. Prigogine, dari tradisi fisika yang berwawasan holistic.
Kelompok ini diketakan "Kelompok Konstruktif” atau “Revisioner”, karena  mereka bukan hanya membongkar beberapa aspek dari gambaran-dunia modern, tetapi juga mencoba membangun kembali reruntuhan itu, serta mengolahnya secara baru dalam upaya mengkonstruksikan sebuah gambaran-dunia yang baru pula.
Akan tetapi kelompok ini nyaris tak pernah dibicarakan sama sekali karena kecenderungan umum yang yang mengidentikkan postmodernisme itu hanya dengan kelompok post-strukturalis yang umumnya kaum neo-Nietzschean saja. Akibatnya postmodernisme jadi identik dengan kaum Dekonstruksionis belaka, yang kerjanya hanya membongkar-bongkar segala tatanan dan lantas menihilkan segala hal.
Akhirnya, di dunia ini tak ada yang tak selesai. Pun dengan tulisan ini. Kiranya tak disudahi oleh penulisnya, maka tak akan pernah selesai.

Selamat membaca….
Selamat melanjutkan….

Indramayu, Selasa, 1 Nopember 2011 


 
Moh. Rifqi Mushan

Referensi :
1.    Russel, Bertran; Sejarah Filsafat Barat (dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik dari zaman kuno hingga sekarang), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-II, 2004.
2.    Sugiharto, I. Bambang; Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius, cet. Ke-VIII, 1996.
3.      Suhartono, Suparlan; Dasar-Dasar Filsafat, Yogyakarta, Ar-Ruzz, cet. Ke-II, 2005.
4.      Syekhuddin, Filsafat Modern dan Pembentukannya (Makalah), 2009
5.      Strathern, Paul; 90 Menit Bersama Plato, terj. Frans Kowa, Jakarta, Erlangga, 2001.

Kaidah Fiqih


القاعدة الاولى
الامور بمقا صدها
“Hasil dari sebuah perkara itu diputuskan sesuai dengan kehendak hatinya”
Oleh : Moh. Rifqi Mushan*

 Dalam kaidah ini, dijelaskan bahwa pekerjaan apa saja, entah yang bersifat ‘ubudliyyah, mu’amalat, munakahat, ataupun jinayat, haruslah diputuskan sesuai dengan tujuannya. Termasuk di dalamnya adalah sesuatu yang dipandang sepele oleh mata kita, semisal makan ataupun minum. Jikalau  makan dan minum  itu dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan dalam  melakukan ibadah kepada Allah, maka makan dan minum kita itu mendapatkan  pahala.
Kaidah ini berlandaskan pada hadits Nabi yang berbunyi  “انما الاعمال بالنيات ......”, yang diartikan oleh sejumlah kalangan ulama Syafi’iyyah bahwa “ sesungguhnya sahnya sebuah pekerjaan ataupun amal itu tergantung pada niatnya”. Adapun ulama Hanafiyyah mengartikan bahwa “ sesungguhnya sempurnanya sebuah pekerjaan  itu tergantung pada niatnya”.  Namun di sini saya mencoba untuk – meminjam bahasanya Emha Ainun Najib - menafsir-nafsirkan (kata-kata ini menunjukkan bahwa sebenarnya saya bukanlah seorang penafsir) bahwa “sesungguhnya hasil dari sebuah pekerjaan itu diputuskan sesuai dengan kehendak hatinya (niatnya)”. Penafsiran seperti ini berdasarkan hasil pembacaan dari beberapa contoh yang dikemukakan oleh Syekh Abd. Hamid Hakim dalam kitabnya Mabadi’ul Awwaliyyah[1].
Dalam kitab Mawahib Assaniyyah dijelaskan bahwa lafadz “Innama” pada hadits di atas, dengan mengutip pendapat dari Imam Nawawi, memiliki tujuan untuk membatasi dengan cara menetapkan hukum dari sesuatu yang disebutkan dan menghilangkan sesuatu yang lainnya[2]. Sedangkan yang dimaksud dengan “A’mal” ialah segala bentuk dari gerak tubuh, termasuk di dalamnya adalah ucapan / perkataan[3].
Terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan asbabul wurud dari hadits tersebut. Ulama malikiyyah berpendapat bahwa hadits ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw., ketika beliau sampai di Madinah dalam  rangka berhijrah[4]. Namun Syekh Hafidz bih Hajar tidak sependapat, karena tidak adanya bukti konkrit yang menunjukkan pada kebenaran pendapat tersebut. Beliau berpendapat bahwa ada indikasi hadits tersebut diucapkan oleh Nabi pada saat hijrahnya Ummu Qois. Syekh Hafidz memperkuat pendapatnya dengan sebauh ceritera yang diriwayatkan oleh Imam Ath-thabrani, bahwasanya terdapat seorang laki-laki yang hendak meminang seorang perempuan (perempuan yang dimaksud-dikatakan-adalah Ummu Qois), namun perempuan tersebut mau dinikah dengan catatan sang lelaki haruslah berhijrah dahulu. Lelaki tersebut kemudian berhijrah dan barulah ia mampu meminang serta menikahi sang perempuan.[5]
Baberapa Imam yang mengeluarkan hadits tersebut sesuai dengan periwayatnya masing-masing, adalah sebagai berikut:
  1. Aimmatu sittah (Imam Nasa’i, Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah) beserta yang lainnya yang bersumber dari hadistnya sahabat Umar bin Khottob r.a.
  2. Ibnu Asy’ats dalam “Sunan”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
  3. Imam Daruquthni dalam kitabnya “Ghoroibu Malik” serta Abu Nu’aim dalam kitab “Haliyyah”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat Abi Sa’id al-Hudri r.a.
  4. Imam Ibnu ‘Asakir  dalam kitabnya “Amali” yang bersumber dari haditsnya sahabat Anas r.a.[6]
Di samping itu, terdapat beberapa hadits yang menjadi pendukung dari qo’idah ini. Antara lain:
1.       Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dalam “sunan”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat Anas r.a., yang berbunyi لا عمل لمن لا نية له "”.  Yang artinya “tidak terhitung sebuah amal (pekerjaan yang bersifat ‘ubudliyyah), jika pengerjaannya tidak diniati apapun[7].
  1. Hadits Nabi yang terdapat pada “Musnad Asy-Syihab” dan “Mu’jam ath-Thabrani al-Kabir” yang bersumber dari haditsnya sahabat Sahal bin Sa’id r.a. dan sahabat Nuwas bin Sam’an r.a. yang berbunyi نية المؤمن خير من عمله  . Yang artinya “niatnya seorang Mu’min itu lebih baik dari pengerjaannya”[8] .
  2. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah r.a. dan sahabat Jabir bin Abdullah r.a. yang berbunyi يبعث الناس على نيتهم  [9]. Serta beberapa hadits lain yang tidak bisa saya sebutkan secara keseluruhannya.
Ruang Lingkup Kaidah
Kaidah ini merupakan satu dari lima kaidah pokok yang terdapat dalam ilmu Kaidah fiqih. Akan tetapi kaidah ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dalam pelbagai aspek kehidupan. Pelbagai problematika kehidupan, ternyata mampu diurai dengan menggunakan analisa kaidah yang satu ini.
Meskipun qo’idah ini hanya mempunyai 4 kaidah cabang, namun ¼ dan bahkan ada yang mengatakan 1/3 nya ilmu, bermuara pada kaidah ini. Ulama yang berpendapat 1/4nya ilmu bermuara pada kaidah ini adalah Imam Ibnu Mudaini[10]. Sementara ulama yang berpendapat bahwa 1/3nya ilmu bermuara pada kaidah  ini adalah: Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Ibnu Mahdi, Imam Ibnu Mudni, Imam Abu Dawud, Imam Ad-Daru Quthni[11], Imam Al-Buwaithi[12], serta beberapa ulama lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Alasan dari luasnya ruang lingkup kaidah ini disebabkan karena terdapat 70 bab ilmu, yang bermuara pada hadits yang menjadi pijakan dari kaidah. Ini seprti yang dikatakan Imam Syafi’i yang dinukil oleh Sayid Abu Bakar Al-Ahdali Al-Yamani dalam 2 bait nadhomnya:
قالوا وذاالحديث ثلث العلم  #     وقيل ربعه فجل بالفهم
وهو فى السبعين بابا يدخل  #  عن الامام الشا فعي ينقل

Para ulama berkata “ hadits ini memuat 1/3nya ilmu # dan dikatakan 1/4nya ilmu, maka berkelilinglah kalian dalam sebuah kefahaman.”
Dan ia memuat 70 bab dari ilmu # dari Imam Syafi’i lah pendapat ini dinukil[13].

Beberapa contoh yang masuk dalam kaidah ini antara lain:
1.      Makan atau  minum, jika ia tidak diniati untuk medapatkan kekuatan agar mampu beribadah kepada Allah, maka makan dan minum tersebut hanya mendapatkan kenyangnya sebuah perut. Namun jika ia diniati agar mampu beribadah, maka makan dan minum tersebut menjadi sangat istimewa karena pelakunya akan  mendapatkan pahala dari Allah.
2.      Memutuskan hubungan dengan orang lain (bertengkar dengan cara saling diam), jika ia diniati bertengkar dan waktunya melebihi 3 hari, maka hukumnya haram. Namun jika tidak ada niatan untuk bertengkar, walaupun saling diam dan tenggang waktunya lebih dari 3 hari, maka tidak dihukumi haram[14].
3.      Talak Kinayah (memakai kata sindiran), seperti perkataan “pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu”. Jika perkataan tersebut diniati untuk men-talak sang istri, maka jatuhlah 1 talak. Namun jika tidak diniati demikian, maka talak belum jatuh.

Tiga contoh yang saya sebutkan di atas hanyalah merupakan sebuah gambaran, dan pastinya akan ada lebih banyak lagi contoh-contoh yang bermunculan, selama dunia ini belum KIAMAT.
Akhirnya tak ada teks (tulisan) yang tak dihapus. Pun dengan teks ini, ia muncul karena ia ingin dihapus oleh pembacanya.
Selamat Membaca....
Selamat Melawan....
Selamat Membacakan...
Selamat Menghapus....
Jangan marah jika teks yang Anda buat pun kelak akan dihapus.
Dan sampai bertemu pada Qo’idah berikutnya.

Babakan, 31 Oktober 2011
*Penulis lahir di Ds. Tambi Kec. Sliyeg Kab. Indramayu pada 28 Maret 1987. Menjadi santri Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon sejak 17 Juni 2001 sampai sekarang. Juga sebagai sampingan,menjadi Tukang Sapu di MTs YAPIDA TAMBI, Ds. Tambi Kec. Sliyeg Kab. Indramayu.

Referensi:
  1. As-Suyuti, Jalaluddin Abdul Rahman, “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H
  2. Abdullah bin Sulaiman, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. I, 1965 M / 1384  H
  3. Al-Ahdali, Al-Yamani, Abu Bakar, “Al-Faroidul Bahiyyah Fil Qowa’idil Fiqhiyyah”, Pustaka ‘Alawi, Semarang, (tt)
  4. Al-Anshori, Abu Zakariya, “Ghoyatul Wushul”, Syirkatunnur, Asia, (tt)
  5. Hakim, Abd. Hamid, “Mabadiul Awwaliyyah Fi Ushulil Fiqhi wal Qowa’idil Fiqhiyyati”, Maktab Sa’adiyyah Putra, Jakarta, (tt)


[1] . Abd. Hamid Hakim, “Mabadiul Awwaliyyah Fi Ushulil Fiqhi wal Qowa’idil Fiqhiyyati”, Maktab Sa’adiyyah Putra, Jakarta, (tt), hlm. 22.
[2] Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384  H, hlm. 36.
[3] Ibid, hlm.37.
[4] Ibid, hlm. 42.
[5] Opcit.
[6] Dari nomor 1 – 4, lafadz haditsnya sama. Tidak ada penambahan di dalamnya. Lihat Imam Jalaluddin Abdul Rahman bin Abu Bakar As-Suyithi, dalam “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H, hlm. 6.
[7] Opcit.
[8] Opcit. Hadits ini haruslah dipahami dengan menggunakan analisis “Mafhum Muwafaqoh”. Yaitu sebuah analisis yang didasari dari hasil pembacaan terhadap teks semata. Jadi, pemahaman  dari hadist di atas adalah mengerjakan sesuatu dengan adanya niat, akan lebih baik daripada niatnya saja dan atau lebih baik daripada mengerjakan sesuatu tanpa niat. Baca Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, “Ghoyatul Wushul”, Syirkatunnur, Asia, (tt), hlm. 37.
 jika menggunakan analisa “Mafhum Mukholafah”, maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru. Hal ini terjadi pada beberapa aliran kepercayaan yang belakangan ini mulai ramai kembali. Seperti Islam kejawen, atau meminjam bahasanya Cliford Geertz adalah “Islam Abangan”. Mereka menafsiri hadits tersebut dengan pemahaman bahwa mengerjakan sholat tidaklah diwajibkan. Cukup dengan niat dalam hati, maka mereka sudah mengerjakan sholat.
[9] Ibid, hlm. 7
[10] Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. I, 1965 M / 1384  H, hlm. 44. Bandingkan dengan yang tertulis pada hlm. 43 dalam kitab yang sama. Bandingkan juga dengan “Asybah wa An-Nadhoir”, karya Imam Jalaluddin Abdul Rahman, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, 1965 M / 1384 H, hlm. 7.  Di situ tertulis bahwa Ibnu Al-Mudaini berpendapat bahwa 1/3 nya ilmu bermuara pada qo’idah ini.

[11] Imam Jalaluddin Abdul Rahman bin Abu Bakar As-Suyithi, dalam “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H, hlm. 7.
[12] Syekh Abdullah bin Sulaiman, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384  H, hlm. 43. Dalam kitab ini, dengan halaman yang sama, dicantumkan nama lengkap dari Ibnu Mahdi, yaitu Imam ‘Abdurrahman bin Mahdi.
[13] Sayid Abu Bakar Al-Ahdali Al-Yamani, “Al-Faroidul Bahiyyah Fil Qowa’idil Fiqhiyyah”, Pustaka ‘Alawi, Semarang, (tt), hlm. 5.
[14] Di sini penulis mencoba untuk mengambil semangat dari teks tersebut. Yaitu “pertengkaran”. Jadi, apapun bentuk dari pertengkaran itu, entah itu dengan cara saling diam, bertegur sapa tapi saling memendam kebencian, ataupun yang lainnya, apabila tenggang waktunya sudah melebihi 3 hari maka hukumnya haram. Wallahu A’lam.