PERIODISASI
FILSAFAT BARAT
Oleh : Moh.
Rifqi Mushan
Secara
garis besarnya, sejarah filsafat Barat terbagi dalam empat periode, yaitu Periode
Yunani Kuno, Periode Abad Pertengahan, Periode Zaman Modern dan Periode Zaman
Neomodernism atau biasa dikenal dengan filsafat postmodernisme. Keempat periode
tersebut akan diurai dalam beberapa bagian.
1.
Periode
Filsafat Yunani Kuno ( Abad 6 SM – Abad 4 M)
Untuk lebih mempermudah pembahasannya, maka
saya akan menguraikan periode ini ke dalam 3 (tiga) bagian:
A.
Periode Pra Socrates (Abad 6 SM – 4 SM)
Pada periode ini, filsafat diawali oleh Thales
yang untungnya mampu dilacak masa hidupnya berdasarkan fakta bahwa ia pernah
meramalkan terjadinya gerhana matahari, yang menurut para astronom terjadi pada
tahun 585 SM. Dengan demikian filsafat lahir di awal abad ke-6 SM. Pada zaman
ini filsafat memiliki corak khas, yaitu kosmosentris (segala sesuatu berpusat
pada asal usul jagad raya).
Beberapa filsuf besar yang lahir pada masa ini
antara lain:
-
Thales. Ia berpendapat bahwa “Air adalah substansi
dasar yang membentuk segala hal lainnya”.
- Anaximander.Ia mengatakan bahwa segala hal berasal dari
satu substansi asali, namun substansi itu bukan air atau substansi lain manapun
yang kita ketahui. Substasi itu tak terbatas, abadi dan tak mengenal usia, dan
ia melingkupi seluruh dunia-dunia”.
- Anaximenes. Menurutnya, substansi yang paling dasar
adalah udara. Jiwa adalah udara; api adalah udara yang encer; jika dipadatkan,
pertama-tama udara akan menjadi air, dan jika dipadatkan lagi, menjadi tanah,
dan akhirnya menjadi batu.
- Pythagoras. Corak pemikirannya “Adiduniawi”, yaitu
menempatkan semua nilai ke dalam persatuan gaib dengan Tuhan dan mengutuk dunia
yang kasat mata ini sebagai kepalsuan dan hayalan. Ia berpendapat bahwa “jiwa
tak dapat mati, dan jiwa itu berubah menjadi jenis-jenis makhluk hidup lain;
kemudin, bahwa apapun yang bereksistensi dilahirkan kembali menurut perputaran
siklus tertentu, sehingga tidak ada sesuatu pun yang benar-benar baru; dan
bahwa segala sesuatu yang dilahirkan dengan disertai kehidupan di dalamnya harus
dianggap berasal dari satu sumber”.
-
Xenophon. Ia meyakini bahwa segala sesuatu tercipta dari
tanah dan air.
- Heraklitus. Ia api sebagai substansi dasar dari segala
sesuatu, seperti pijar yang muncul dari api, terlahir berkat kematian sesuatu
yang lain. Ia juga berpendapat bahwa “yang fana itu baka, dan yang baka itu
fana, yang satu hidup berkat kematian yang lain”.
- Parmenides. Ia menganggap bahwa indera bersifat menipu,
dan bahwa pelbagai benda inderawi hanyalah ilusi. Satu-satunya pengada yang
sejati adalah “Yang Tunggal” yang tak terbatas dan tak terbagi-bagi. Yang
Tunggal itu bukanlah kesatuan dari unsure-unsur yang berlawanan sebagaimana
pandangan Heraklitus, karena memang tak ada unsure-unsur yang berlawanan itu.
- Empedokles. Dialah yang menyatakan bahwa tanah, udara,
api dan air adalah empat unsur (kendati istilah “unsur” belum dia gunakan).
Masing-asing unsure itu abadi, tetapi unsure-unsur itu bisa saling berbaur
dengan takaran yang berbeda-beda dan dengan demikian menghasilkan pelbagai
ragam zat yang terus berubah sebagaimana kita temukan di dunia ini. Unsur-unsur
itu dipadukan oleh Cinta dan Perselisihan.
- Anaxagoras. Dialah orang pertama yang mengenalkan
filsafat pada warga Athena, yang di
kemudian hari melahirkan Sokrates dan Plato. Dalam bidang kosmologi ia
berpendapat bahwa segala sesuatu bisa dibagi-bagi secara tak terbatas, dan
bahwa materi yang paling kecil pun tetap mengandung semua unsure yang ada. Pelbagai
benda tampil sebagaimana adanya sesuai dengan unsure apa yang paling banyak
dikandungnya.
- Leukippus dan Demokritus. Mereka dikenal dengan
pelopor atomisme. Ini dikarenakan pendapatnya yang menyatakan bahwa segala
sesuatu tersusun dari atom-atom yang yang tak dapat dibagi-bagi secara fisik,
namun bukan secara geometris; bahwa di antara atom-atom itu terdapat ruang
kosong; bahwa atom-atom tak bisa dimusnahkan; bahwa atom-atom itu senantiasa
telah, dan senantiasa akan bergerak; bahwa jumlah atom-atom tak terbatas, dan
demikian pula jenisnya, yang berbeda-beda bentuk dan ukurannya.
- Protagoras. Ia merupakan pemimin kaum sofis, yaitu mereka
yang mata pencahariannya mengajari anak-anak muda dengan sejumlah hal yang
diharapkan akan berguna dalam kehidupan sehari-hari.
B.
Periode Socrates (Abad 4 SM )
Pada masa ini, filsafat yang pada mulanya lahir
dan berkembang di miletus, berhijrah ke Athena. Proses perpindahannya diawali
oleh kemungkinan diundangnya Anaxagoras oleh Pericles, ke Athena. Ia kemudian
menetap dan melewatkan sebagian hidupnya selama kurang-lebih tiga puluh tahun
di Athena, kira-kira dari tahun 462 hingga 432 SM. Masuknya Anaxagoras ke
Athena ternyata mempunyai pengaruh besar terhadap kelanjutan dunia filsafat.
Karena dari Athena inilah kemudian lahir tiga filsuf besar yang namanya sampai
sekarang lebih dikenal daripada filsuf sebelumnya dan atau bahkan filsuf
sesudahnya. Tiga filsuf besar tersebut adalah:
- Socrates. Socrates sama sekali tidak menuliskan seuatu.
Banyak pengetahuan kita tentang filsuf itu terutama merujuk pada seorang tokoh
historis semu yang muncul dalam dialog-dialog Plato. Ia beserta muridnya
(Plato), melakukan “kesalahan” dengan memperlakukan filsafat sebagai upaya
pencarian rasional (penalaran). Diperkenalkannya analisis beserta
argument-argumen yang meyakinkan sehingga membuat tradisi filsafat pada saat
itu menjadi berantakan. Oleh karena itu, Ia beserta mudirnya dituding telah
“mengacaukan” filsafat.
Pandangan Socrates lebih bercorak etis daripada
ilmiah. Ini dapat kita simak dari perkataannya “Aku tak punya urusan dengan
pemikiran-pemikiran tentang alam”. Oleh karena itu, pandangan Socrates yang
ditulis oleh Plato berisi tentang upaya menetapkan definisi-definisi peristilahan
etis. Charmides berisi upaya mendefinisikan kesederhanaan atau sikap
tahu batas; Lysis membahas persahabatan; dan Laches mengulas
keberanian.
- Plato. Ciri utama tentang flsafat Plato adalah Teori
Idea (bentuk) yang terus dikembangkannya selama hidupnya. Ia mempercayai
bahwa segala sesuatu yang kita indera di seputar kita hanyalah kenampakan
semata. Realitas yang sebenarnya adalah idea-idea atau bentuk-bentuk yang
merupakan asal dari segala kenampakan itu.
Gagasan tentang dunia idea membawa kita pada
etika Plato. Dengan bantuan panca indera, kita hanya merasakan kebaikan semu
dari dunia sekitar kita. Hanya dengan bantuan penalaran, barulah kita
benar-benar menyadari idea universal kebaikan yang lebih luas. Melihat kerangka
itu, Plato tampak lebih mementingkan moralitas pencerahan spiritual ketimbang
aturan-aturan perilaku yang bersifat khusus.
- Aristoteles. Dialah filsuf pertama yang menulis
seperti seorang profeso. Risalah-risalahnya sistematis, telaahnya dipilah-pilah
menjadi sejumlah bagian. Argumennya yang paling kokoh untuk menyanggah teori idea-nya
Plato adalah tentang “orang ketiga”; jika seorang manusia adalah manusia karena
ia menyerupai manusia ideal, maka masih hrus ada manusia ideal lainnya lagi
yang terhadapnya manusia biasa dan manusia ideal tadi mempersamakan diri.
Ada istilah lain yang penting dalam filsafat
Aristoteles dan dalam pemikiran parapengikut skolastiknya, yakni “esensi”.
“Esensi” anda adalah “siapakah anda berdasarkan diri Anda yang paling hakiki”.
Orang mungkin mengatakan bahwa ini adalah sifat-sifat yang, jika dihapuskan,
Anda akan berubah menjadi bukan Anda lagi.
C.
Periode Pasca Socrates ( Abad 3 SM – Abad 4 M)
Sesudah Abad ke-3 SM, tidak muncul pemikiran
yang benar-benar baru dalam filsafat Yunani hingga saatnya tampil kaum
Neoplatonis di abad ke-3 M. namun sementara itu dunia Romawi sedang
dipersiapkan bagi kejayaan Kristianitas. Pada masa ini, terdapat empat madzhab
filsafat yang didirikan; Mazhab Sinis dan Mazhab Skeptis, Mazhab Stoa, Mazhab
Epikurean.
- Mazhab Sinis. Mazhab ini berawal dari sebutan
bagi Diogenes, seorang pemuda dari Sinope, di Euxine yang merupakan murid dari
Antisthenes ia disebut “sinis” (Cynic) yang berarti “anjing”, karena ia
menolak semua konvensi – baik itu agama, adat istiadat, sandang, pangan, papan,
atau sopan santun. Akan tetapi ia memiliki semangat yang menyala-nyala untuk
mencapai “keutamaan”, yang dalam perbandingannya dengan keutamaan itu
sebaliknya ia menyatakan bahwa barang-barang duniawi tak ada nilainya.ia
berusaha mencapai keutamaan dan kebebasan moral dengan jalan melepaskan diri
dari hasrat.
- Mazhab Skeptis. Skeptisisme sebagai ajaran dari
pelbagai mazhab dikemukakan pertama kali oleh Pyrrho. Tak ada banyak hal yang
baru dalam doktrinnya, kecuali dilakukannya sistematisasi dan formalisasi
tertentu atas pelbagai keragu-raguan sebelumnya. Skeptisisme sebagai aliran
filsafat bukanlah sekeder keragu-raguan, melainkan sesuatu yang biasa disebut
keraguan dogmatis. Ia memaksudkan dirinya sendiri sebagai penawar kecemasan. “Buat
apa memusingkan diri tentang masa depan?. Masa depan sama sekali tak pasti.
Engkau toh bisa menikmati masa kini; “Apa yang bakal terjadi masih belum
pasti”.
- Mazhab Epikuren. Mazhab ini didirikan oleh Epikurus.
Filsafat Epikuren dibangun untuk menjaga ketentraman batin. Ia berpendapat
bahwa kenikmatan adalah awal dan akhir hidup yang penuh berkah. Ia pun
beranggapan bahwa “Kenikmatan social paling aman adalah persahabatan”. Ini
diperjales dengan pernyataannya bahwa “persahabatan tak dapat dipisahkan dari
kenikmatan, dan oleh sebab itu harus dikembangkan, karena tanpa hal tersebut kita
tak dapat hidup dalam keamanan dan terjauhkan dari kecemasan, tak pula bisa
merasakan kenikmatan”.
- Mazhab Stoisme. Pendirinya adalah Zeno pada
awal abad ke-3 SM. Doktrin utama yang dipegang teguh selamanya oleh mazhab ini
berkaitan dengn determinisme kosmis dan kebebasan manusia. Zeno percaya bahwa
tak ada sesuatu yang disebut kebetulan, dan bahwa jalannya alam sudah
ditetapkan secara ketat oleh hukum-hukum alam. Pada mulanya yang ada hanyalah
api; kemudian unsure-unsur lain – udara, air, tanah, secara berurutan – berangsur-angsur
muncul.
Penerus-penerus Zeno selanjutnya adalah
Cleanthes,Chrysippus (280-207 SM), Panaetius, Posidenius (ca 135 – ca
51 SM), Seneca (ca 3 SM – 65 M), Epictetus (± 60 M - ± 100 M), dan Marcus
Aurelius (121-180 M). Petatah kemudian mulai menunjukkan kebuktiannya bahwa kehidupan
ini bagaikan roda yang berputar. Pun dengan masa kejayaan filsafat. Ia
perlahan-lahan mengalami masa kemerosotan, sehingga berujung pada masa
kejatuhan yang ditandai dengan berakhirnya masa hidup dan pengaruh dari pemikiran
Plotinus.
2.
Periode
Abad Pertengahan (Abad ke- 6 – 15 M)
Periode ini dikatakan sebagai “Abad Kegelapan” bagi
filsafat. Namun ini hanya berlaku khusus bagi Eropa Barat. Karena pada masa
ini, Cina di bawah naungan Dinasti Tang sedang mengalami masa keemasannya dalam
banyak bidang, terutama pada bidang sastra. Pun dengan Jepang dan Kekhalifahan.
Pada periode ini, sejarah filsafat ditandai
dengan munculnya filsafat skolastik (abad ke-6) sampai dengan
kebesaran nama Thomas Aquinas (1225 – 1274 M) yang terkenal dengan aliran Thomisme.
Pada masa ini, filsafat mengalami masa kegelapan dikarenakan ia
dianggap sebagai pelayan teologi, yaitu sebagai sarana untuk menetapkan
kebenaran-kebenaran mengenai Tuhan yang dapat dicapai oleh akal manusia. Thomas
Aquinas berpendapat bahwa “kebenaran teologis yang diterima oleh kepercayaan
melalui wahyu tidak dapat ditentang oleh suatu kebenaran filsafat yang dicapai
dengan akal manusia, karena kedua kebenaran tersebut mempunyai sumber yang sama
pada Tuhan. Filsafat bebas menyelidiki dengan metod-metode yang rasional,
asalkan kesimpulannya tidak bertentangan dengan kebenaran-kebenaran yang tetap
dari teologi”.
Corak pemikiran pada masa ini adalah teosentris
(segala sesuatu berpusat pada asal usul Tuhan). Pada periode ini terdiri dari
para filsuf Kristen, filsuf Islam dan filsuf Yahudi. Salah satu filsuf pada
periode Filsafat Abad Pertengahan yang terkenal yaitu Abu Ali Al-Hussain Ibn
Abdallah Ibn Sina (Avicenna) dengan pokok ajarannya yaitu tentang dunia yang didasarkan
pada emanasi dari neo-Platonisme yaitu Tuhan adalah realitas sentral yang
melahirkan segala yang lain.
3.
Periode Modern
Pada periode ini, saya mengklasifikasikannya
menjadi 2 bagian, yaitu masa transisi dan masa modern itu sendiri.
a.
Transisi (Abad ke- 15 – 16 M)
Sebelum memasuki zaman modern, filsafat
mengalami masa transisi, di mana masa ini dikenal dengan masa Renaisans (kelahiran
kembali) dan Aufklarung (masa Pencerahan). Meskipun renaisans bukanlah sebuah
periode prestasi besar dalam filsafat, tetapi ia telah melakukan sesuatu yang
pasti sebagai permulaan penting bagi kebesaran abad ke-17. Periode ini ditandai
dengan runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas sains.
Renaisans merupakan sebuah gerakan perlawanan
atas cara pandang Abad Pertengahan. Ia bermula dari Italia dan hanya dilakukan
oleh segelintir orang, di antaranya yang terkenal adalah Petrarch. Renaisans merupakan istilah yang berasal dari bahasa Prancis
renaissance yang berarti kelahiran kembali (rebirth). Istilah ini
mula-mula digunakan oleh seorang ahli sejarah terkenal yang bernama Michelet,
kemudian dikembangkan oleh J. Burckhardt (1860) untuk konsep sejarah yang
menunjuk kepada periode yang bersifat individualisme, kebangkitan kebudayaan
antik, penemuan dunia dan manusia, sebagai periode yang dilawankan dengan
periode Abad Pertengahan.
Menurut Mahmud Hamdi Zaqzuq, ada beberapa faktor penting
yang mempengaruhi kelahiran Renaisans, yaitu:
- Implikasi
yang sangat signifikan yang ditimbulkan oleh gerakan keilmuan dan filsafat.
Gerakan tersebut lahir sebagai hasil dari penerjemahan ilmu-ilmu Islam ke dalam
bahasa latin selama dua abad, yaitu abad ke-13 dan 14. Hal itu dilakukan
setelah Barat sadar bahwa Arab memiliki kunci-kunci khazanah turas klasik
Yunani.
- Pasca
penaklukan Konstantinopel oleh Turki Usmani, terjadi migrasi para pendeta dan
sarjana ke Italia dan negara-negara Eropa lainnya. Para sarjana tersebut bahu-membahu
menghidupkan turas klasik Yunani di Florensia, dengan membawa teks-teks dan
manuskrip-manuskrip yang belum dikenal sebelumnya.
- Pendirian
berbagai lembaga ilmiah yang mengajarkan beragam ilmu, seperti berdirinya
Akademi Florensia dan College de France di Paris.
Beberapa filsuf besar yang lahir di masa ini
antara lain: Nicolaus Copernicus (1473-1543), Galileo
Galilei (1564-1642), dan Francis Bacon (1561-1626).
b.
Periode Modern
(Abad ke-17 – 18 M)
Zaman
modern ditandai dengan munculnya rasionalisme Rene Descartes (1596-1650), Baruch Spinoza (1632-1677) dan Gottfried Wilhelm Leibniz
(1646-1716). Descartes merupakan orang pertama di akhir abad pertengahan yang
menyusun argumentasi yang kuat dan tegas yang menyimpulkan bahwa dasar filsafat
haruslah akal, bukan perasaan, bukan iman, bukan ayat suci dan bukan yang
lainnya. Hal ini disebabkan perasaan tidak puas terhadap perkembangan filsafat
yang amat lamban dan banyak memakan korban. Ia melihat tokoh-tokoh Gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambannya perkembangan itu. Ia ingin
filsafat dilepaskan dari dominasi agama Kristen, selanjutnya kembali kepada
semangat filsafat Yunani, yaitu filsafat yang berbasis pada akal.
Descartes juga memberikan uraian tentang bagaimana
memperoleh hasil yang sahih dari metode yang ia canangkan. Hal ini dapat kita dijumpai
dalam bagian kedua dari karyanya Anaximenes Discourse on Methode yang
menjelaskan perlunya memperhatikan empat hal berikut ini:
- Tidak menerima sesuatu apa pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat bahwa hal itu sungguh-sungguh jelas dan tegas, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
- Pecahkanlah setiap kesulitan atau masalah itu sebanyak mungkin bagian, sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.
- Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang sederhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang paling sulit dan kompleks.
- Dalam proses pencarian dan penelaahan hal-hal sulit, selamanya harus dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita menjadi yakin bahwa tidak ada satu pun yang terabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.
Corak khas pemikiran pada masa ini adalah antroposentris
(segala sesuatu dipusatkan pada manusia). Pada periode ini terdiri dari aliran
Rasionalisme dan Empirisme. Salah satu filsuf pada periode Filsafat Modern yang
terkenal yaitu Rene Descrates dengan metodenya dinamakan keraguan metodologis
yaitu keraguan bertujuan memperoleh kebenaran yang tercermin pada kata-kata
“cogito ergo sum” yaitu saya berfikir maka saya ada. (BK)
4.
Periode
Masa Kini (Abad ke- 19 M - Sekarang)
Pada
masa ini, filsafat mulai mengalami perkembangan yang amat pesat. Ini ditandai
dengan lahirnya beragam aliran yang berpengaruh besar dalam filsafat. Antara
lain: Positivisme, Marxisme, Eksistensialisme, Pragmatisme, Neo-Kantianisme,
Neo-Tomisme, dan Fenomenologi.
Beragam
aliran pemikiran di atas kemudian terkumpul dalam sebuah aliran filsafat besar,
Posmodernisme. Meskipun sedemikian beragamnya, namun kiranya kita masih dapat mengidentifikasikannya
dalam dua kelompok.
a.
Kelompok
“Dekonstruktif”.
Kelompok
ini bekerja dengan cara membongkar segala bentuk pemikiran yang dianggap oleh
banyak orang, telah mapan. Dalam kelompok ini, dapat kita masukkan pemikiran-pemikiran
Derrida, Lyotard, Foucault, dan mungkin Rorty. Kelompok inilah yang ditidung sebagai
sekedar mode intelektual yang dangkal dan kosong atau sekedar refleksi yang bersifat
reaksioner belaka atas perubahan-perubhan social yang kini sedang berlangsung.
b.
Kelompok
“Konstruktif”
Dalam
kelompok ini, kita dapat memasukkan pemikiran Haidegger, Gadamer, Ricoeur, Mary
Hesse, dari tradisi Hermeneutika; lalu David R. Griffin, Frederic Ferre, D.
Bohm, dari tradisi Studi Proses Whiteheadian; juga F. Capra, J. Lovelock, Gary
Zukav, I. Prigogine, dari tradisi fisika yang berwawasan holistic.
Kelompok
ini diketakan "Kelompok Konstruktif” atau “Revisioner”, karena mereka bukan hanya membongkar beberapa aspek
dari gambaran-dunia modern, tetapi juga mencoba membangun kembali reruntuhan
itu, serta mengolahnya secara baru dalam upaya mengkonstruksikan sebuah gambaran-dunia
yang baru pula.
Akan
tetapi kelompok ini nyaris tak pernah dibicarakan sama sekali karena
kecenderungan umum yang yang mengidentikkan postmodernisme itu hanya dengan
kelompok post-strukturalis yang umumnya kaum neo-Nietzschean saja. Akibatnya postmodernisme
jadi identik dengan kaum Dekonstruksionis belaka, yang kerjanya hanya
membongkar-bongkar segala tatanan dan lantas menihilkan segala hal.
Akhirnya,
di dunia ini tak ada yang tak selesai. Pun dengan tulisan ini. Kiranya tak
disudahi oleh penulisnya, maka tak akan pernah selesai.
Selamat
membaca….
Selamat
melanjutkan….
Indramayu, Selasa, 1 Nopember 2011
Moh. Rifqi Mushan
Referensi :
1. Russel,
Bertran; Sejarah Filsafat Barat (dan kaitannya dengan kondisi sosio-politik
dari zaman kuno hingga sekarang), Yogyakarta, Pustaka Pelajar, cet. Ke-II,
2004.
2. Sugiharto, I.
Bambang; Postmodernisme, Tantangan Bagi Filsafat, Yogyakarta, Kanisius,
cet. Ke-VIII, 1996.
3.
Suhartono,
Suparlan; Dasar-Dasar Filsafat, Yogyakarta, Ar-Ruzz, cet. Ke-II, 2005.
4.
Syekhuddin, Filsafat
Modern dan Pembentukannya (Makalah), 2009
5.
Strathern,
Paul; 90 Menit Bersama Plato, terj. Frans Kowa, Jakarta, Erlangga, 2001.