Rabu, 14 Maret 2012

Kaidah Fiqih


القاعدة الاولى
الامور بمقا صدها
“Hasil dari sebuah perkara itu diputuskan sesuai dengan kehendak hatinya”
Oleh : Moh. Rifqi Mushan*

 Dalam kaidah ini, dijelaskan bahwa pekerjaan apa saja, entah yang bersifat ‘ubudliyyah, mu’amalat, munakahat, ataupun jinayat, haruslah diputuskan sesuai dengan tujuannya. Termasuk di dalamnya adalah sesuatu yang dipandang sepele oleh mata kita, semisal makan ataupun minum. Jikalau  makan dan minum  itu dimaksudkan untuk mendapatkan kekuatan dalam  melakukan ibadah kepada Allah, maka makan dan minum kita itu mendapatkan  pahala.
Kaidah ini berlandaskan pada hadits Nabi yang berbunyi  “انما الاعمال بالنيات ......”, yang diartikan oleh sejumlah kalangan ulama Syafi’iyyah bahwa “ sesungguhnya sahnya sebuah pekerjaan ataupun amal itu tergantung pada niatnya”. Adapun ulama Hanafiyyah mengartikan bahwa “ sesungguhnya sempurnanya sebuah pekerjaan  itu tergantung pada niatnya”.  Namun di sini saya mencoba untuk – meminjam bahasanya Emha Ainun Najib - menafsir-nafsirkan (kata-kata ini menunjukkan bahwa sebenarnya saya bukanlah seorang penafsir) bahwa “sesungguhnya hasil dari sebuah pekerjaan itu diputuskan sesuai dengan kehendak hatinya (niatnya)”. Penafsiran seperti ini berdasarkan hasil pembacaan dari beberapa contoh yang dikemukakan oleh Syekh Abd. Hamid Hakim dalam kitabnya Mabadi’ul Awwaliyyah[1].
Dalam kitab Mawahib Assaniyyah dijelaskan bahwa lafadz “Innama” pada hadits di atas, dengan mengutip pendapat dari Imam Nawawi, memiliki tujuan untuk membatasi dengan cara menetapkan hukum dari sesuatu yang disebutkan dan menghilangkan sesuatu yang lainnya[2]. Sedangkan yang dimaksud dengan “A’mal” ialah segala bentuk dari gerak tubuh, termasuk di dalamnya adalah ucapan / perkataan[3].
Terjadi perbedaan pendapat dalam menentukan asbabul wurud dari hadits tersebut. Ulama malikiyyah berpendapat bahwa hadits ini diucapkan oleh Nabi Muhammad Saw., ketika beliau sampai di Madinah dalam  rangka berhijrah[4]. Namun Syekh Hafidz bih Hajar tidak sependapat, karena tidak adanya bukti konkrit yang menunjukkan pada kebenaran pendapat tersebut. Beliau berpendapat bahwa ada indikasi hadits tersebut diucapkan oleh Nabi pada saat hijrahnya Ummu Qois. Syekh Hafidz memperkuat pendapatnya dengan sebauh ceritera yang diriwayatkan oleh Imam Ath-thabrani, bahwasanya terdapat seorang laki-laki yang hendak meminang seorang perempuan (perempuan yang dimaksud-dikatakan-adalah Ummu Qois), namun perempuan tersebut mau dinikah dengan catatan sang lelaki haruslah berhijrah dahulu. Lelaki tersebut kemudian berhijrah dan barulah ia mampu meminang serta menikahi sang perempuan.[5]
Baberapa Imam yang mengeluarkan hadits tersebut sesuai dengan periwayatnya masing-masing, adalah sebagai berikut:
  1. Aimmatu sittah (Imam Nasa’i, Imam Bukhori, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Tirmidzi, Imam Ibnu Majah) beserta yang lainnya yang bersumber dari hadistnya sahabat Umar bin Khottob r.a.
  2. Ibnu Asy’ats dalam “Sunan”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat ‘Ali bin Abi Thalib r.a.
  3. Imam Daruquthni dalam kitabnya “Ghoroibu Malik” serta Abu Nu’aim dalam kitab “Haliyyah”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat Abi Sa’id al-Hudri r.a.
  4. Imam Ibnu ‘Asakir  dalam kitabnya “Amali” yang bersumber dari haditsnya sahabat Anas r.a.[6]
Di samping itu, terdapat beberapa hadits yang menjadi pendukung dari qo’idah ini. Antara lain:
1.       Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dalam “sunan”nya yang bersumber dari haditsnya sahabat Anas r.a., yang berbunyi لا عمل لمن لا نية له "”.  Yang artinya “tidak terhitung sebuah amal (pekerjaan yang bersifat ‘ubudliyyah), jika pengerjaannya tidak diniati apapun[7].
  1. Hadits Nabi yang terdapat pada “Musnad Asy-Syihab” dan “Mu’jam ath-Thabrani al-Kabir” yang bersumber dari haditsnya sahabat Sahal bin Sa’id r.a. dan sahabat Nuwas bin Sam’an r.a. yang berbunyi نية المؤمن خير من عمله  . Yang artinya “niatnya seorang Mu’min itu lebih baik dari pengerjaannya”[8] .
  2. Hadits yang dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah yang bersumber dari sahabat Abu Hurairah r.a. dan sahabat Jabir bin Abdullah r.a. yang berbunyi يبعث الناس على نيتهم  [9]. Serta beberapa hadits lain yang tidak bisa saya sebutkan secara keseluruhannya.
Ruang Lingkup Kaidah
Kaidah ini merupakan satu dari lima kaidah pokok yang terdapat dalam ilmu Kaidah fiqih. Akan tetapi kaidah ini mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dalam pelbagai aspek kehidupan. Pelbagai problematika kehidupan, ternyata mampu diurai dengan menggunakan analisa kaidah yang satu ini.
Meskipun qo’idah ini hanya mempunyai 4 kaidah cabang, namun ¼ dan bahkan ada yang mengatakan 1/3 nya ilmu, bermuara pada kaidah ini. Ulama yang berpendapat 1/4nya ilmu bermuara pada kaidah ini adalah Imam Ibnu Mudaini[10]. Sementara ulama yang berpendapat bahwa 1/3nya ilmu bermuara pada kaidah  ini adalah: Imam Syafi’i, Imam Ahmad Bin Hambal, Imam Ibnu Mahdi, Imam Ibnu Mudni, Imam Abu Dawud, Imam Ad-Daru Quthni[11], Imam Al-Buwaithi[12], serta beberapa ulama lainnya yang tidak disebutkan di sini.
Alasan dari luasnya ruang lingkup kaidah ini disebabkan karena terdapat 70 bab ilmu, yang bermuara pada hadits yang menjadi pijakan dari kaidah. Ini seprti yang dikatakan Imam Syafi’i yang dinukil oleh Sayid Abu Bakar Al-Ahdali Al-Yamani dalam 2 bait nadhomnya:
قالوا وذاالحديث ثلث العلم  #     وقيل ربعه فجل بالفهم
وهو فى السبعين بابا يدخل  #  عن الامام الشا فعي ينقل

Para ulama berkata “ hadits ini memuat 1/3nya ilmu # dan dikatakan 1/4nya ilmu, maka berkelilinglah kalian dalam sebuah kefahaman.”
Dan ia memuat 70 bab dari ilmu # dari Imam Syafi’i lah pendapat ini dinukil[13].

Beberapa contoh yang masuk dalam kaidah ini antara lain:
1.      Makan atau  minum, jika ia tidak diniati untuk medapatkan kekuatan agar mampu beribadah kepada Allah, maka makan dan minum tersebut hanya mendapatkan kenyangnya sebuah perut. Namun jika ia diniati agar mampu beribadah, maka makan dan minum tersebut menjadi sangat istimewa karena pelakunya akan  mendapatkan pahala dari Allah.
2.      Memutuskan hubungan dengan orang lain (bertengkar dengan cara saling diam), jika ia diniati bertengkar dan waktunya melebihi 3 hari, maka hukumnya haram. Namun jika tidak ada niatan untuk bertengkar, walaupun saling diam dan tenggang waktunya lebih dari 3 hari, maka tidak dihukumi haram[14].
3.      Talak Kinayah (memakai kata sindiran), seperti perkataan “pulanglah kamu kepada kedua orang tuamu”. Jika perkataan tersebut diniati untuk men-talak sang istri, maka jatuhlah 1 talak. Namun jika tidak diniati demikian, maka talak belum jatuh.

Tiga contoh yang saya sebutkan di atas hanyalah merupakan sebuah gambaran, dan pastinya akan ada lebih banyak lagi contoh-contoh yang bermunculan, selama dunia ini belum KIAMAT.
Akhirnya tak ada teks (tulisan) yang tak dihapus. Pun dengan teks ini, ia muncul karena ia ingin dihapus oleh pembacanya.
Selamat Membaca....
Selamat Melawan....
Selamat Membacakan...
Selamat Menghapus....
Jangan marah jika teks yang Anda buat pun kelak akan dihapus.
Dan sampai bertemu pada Qo’idah berikutnya.

Babakan, 31 Oktober 2011
*Penulis lahir di Ds. Tambi Kec. Sliyeg Kab. Indramayu pada 28 Maret 1987. Menjadi santri Miftahul Muta’allimin Babakan Ciwaringin Cirebon sejak 17 Juni 2001 sampai sekarang. Juga sebagai sampingan,menjadi Tukang Sapu di MTs YAPIDA TAMBI, Ds. Tambi Kec. Sliyeg Kab. Indramayu.

Referensi:
  1. As-Suyuti, Jalaluddin Abdul Rahman, “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H
  2. Abdullah bin Sulaiman, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. I, 1965 M / 1384  H
  3. Al-Ahdali, Al-Yamani, Abu Bakar, “Al-Faroidul Bahiyyah Fil Qowa’idil Fiqhiyyah”, Pustaka ‘Alawi, Semarang, (tt)
  4. Al-Anshori, Abu Zakariya, “Ghoyatul Wushul”, Syirkatunnur, Asia, (tt)
  5. Hakim, Abd. Hamid, “Mabadiul Awwaliyyah Fi Ushulil Fiqhi wal Qowa’idil Fiqhiyyati”, Maktab Sa’adiyyah Putra, Jakarta, (tt)


[1] . Abd. Hamid Hakim, “Mabadiul Awwaliyyah Fi Ushulil Fiqhi wal Qowa’idil Fiqhiyyati”, Maktab Sa’adiyyah Putra, Jakarta, (tt), hlm. 22.
[2] Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384  H, hlm. 36.
[3] Ibid, hlm.37.
[4] Ibid, hlm. 42.
[5] Opcit.
[6] Dari nomor 1 – 4, lafadz haditsnya sama. Tidak ada penambahan di dalamnya. Lihat Imam Jalaluddin Abdul Rahman bin Abu Bakar As-Suyithi, dalam “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H, hlm. 6.
[7] Opcit.
[8] Opcit. Hadits ini haruslah dipahami dengan menggunakan analisis “Mafhum Muwafaqoh”. Yaitu sebuah analisis yang didasari dari hasil pembacaan terhadap teks semata. Jadi, pemahaman  dari hadist di atas adalah mengerjakan sesuatu dengan adanya niat, akan lebih baik daripada niatnya saja dan atau lebih baik daripada mengerjakan sesuatu tanpa niat. Baca Syekh Abu Zakariya Al-Anshori, “Ghoyatul Wushul”, Syirkatunnur, Asia, (tt), hlm. 37.
 jika menggunakan analisa “Mafhum Mukholafah”, maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru. Hal ini terjadi pada beberapa aliran kepercayaan yang belakangan ini mulai ramai kembali. Seperti Islam kejawen, atau meminjam bahasanya Cliford Geertz adalah “Islam Abangan”. Mereka menafsiri hadits tersebut dengan pemahaman bahwa mengerjakan sholat tidaklah diwajibkan. Cukup dengan niat dalam hati, maka mereka sudah mengerjakan sholat.
[9] Ibid, hlm. 7
[10] Syekh Abdullah bin Sulaiman Al-Jarhazi, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. I, 1965 M / 1384  H, hlm. 44. Bandingkan dengan yang tertulis pada hlm. 43 dalam kitab yang sama. Bandingkan juga dengan “Asybah wa An-Nadhoir”, karya Imam Jalaluddin Abdul Rahman, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, 1965 M / 1384 H, hlm. 7.  Di situ tertulis bahwa Ibnu Al-Mudaini berpendapat bahwa 1/3 nya ilmu bermuara pada qo’idah ini.

[11] Imam Jalaluddin Abdul Rahman bin Abu Bakar As-Suyithi, dalam “Asybah wa An-Nadhoir”, Maktab Al-Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384 H, hlm. 7.
[12] Syekh Abdullah bin Sulaiman, “Mawahib Assaniyyah Syarhul Faraidil Bahiyyah”, Maktab Hidayah, Surabaya, cet. Ke-1, 1965 M / 1384  H, hlm. 43. Dalam kitab ini, dengan halaman yang sama, dicantumkan nama lengkap dari Ibnu Mahdi, yaitu Imam ‘Abdurrahman bin Mahdi.
[13] Sayid Abu Bakar Al-Ahdali Al-Yamani, “Al-Faroidul Bahiyyah Fil Qowa’idil Fiqhiyyah”, Pustaka ‘Alawi, Semarang, (tt), hlm. 5.
[14] Di sini penulis mencoba untuk mengambil semangat dari teks tersebut. Yaitu “pertengkaran”. Jadi, apapun bentuk dari pertengkaran itu, entah itu dengan cara saling diam, bertegur sapa tapi saling memendam kebencian, ataupun yang lainnya, apabila tenggang waktunya sudah melebihi 3 hari maka hukumnya haram. Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar